Pemberdayaan masyarakat
ialah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses
kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri.
Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi apabila masyarakat itu sendiri ikut
pula berpartisipasi.
Heri Purwanto ( Baju Hijau ) sbg Nara Sumber Program Inovasi Desa : Talas Satoimo. |
Perbaikan Kelembagaan
“Better Institution”
Dengan perbaikan kegiatan/tindakan yang dilakukan,
diharapkan akan memperbaiki kelembagaan, termasuk pengembangan jejaring
kemintraan usaha.
Perbaikan
Usaha “Better Business”
Perbaikan pendidikan “semangat belajar”, perbaikan
aksesibisnislitas, kegiatan dan perbaikan kelembagaan, diharapkan akan
memperbaiki bisnis yang dilakukan.
Perbaikan Pendapatan “Better Income”
Dengan terjadinya perbaikan bisnis yang dilakukan,
diharapkan akan dapat memperbaiki pendapatan yang diperolehnya, termasuk
pendapatan keluarga dan masyarakat.
Perbaikan Lingkungan
“Better Environment”
Perbaikan pendapatan diharapkan dapat memperbaiki
lingkungan “fisik dan sosial” karena kerusakan lingkungan seringkali disebabkan
oleh kemiskinan atau pendapatan yang terbatas.
Perbaikan
Kehidupan “Better Living”
Tingkat pendapatan dan keadaan lingkungan yang
membaik, diharapkan dapat memperbaiki keadaan kehidupan setiap keluarga dan
masyarakat.
Perbaikan
Masyarakat “Better Community”
Kehidupan yang lebih baik yang didukung oleh
lingkungan “fisik dan sosial” yang lebih baik, diharapkan akan terwujud ke
kehidupan masyarakat yang lebih baik pula.
Terdapat empat prinsip yang
sering digunakan untuk suksesnya program pemberdayaan yaitu prinsip kesetaraan,
pasrtisipasi, keswadayaan atau kemandirian dan berkelanjutan “Najiati dkk,
2005:54”, adapun penjelasan terhadap prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat
tersebut ialah sebagai berikut:
PRINSIP KESETARAAN.
Prinsip utama yang harus
dipegang dalam proses pemberdayaan masyarakat ialah adanya kesetaraan atau
kesejajaran kedudukan antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan
program-program pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.
Dinamika yang dibangun ialah hubungan kesetaraan dengan mengembangkan mekanisme
berbagai pengetahuan, pengalaman, serta keahlian satu sama lain. Masing-masing
saling mengakui kelebihan dan kekurangan, sehingga terjadi proses saling
belajar.
PRINSIP PARTISIPASI
Program pemberdayaan yang
dapat menstimulasi kemandirian masyarakat ialah program yang sifatnya
partisipatif, direncanakan, dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi oleh
masyarakat. Namun untuk sampai pada tingkat tersebut perlu waktu dan proses
pendampingan yang melibatkan pendamping yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan
masyarakat.
PRINSIP KESWADAYAAN DAN
KEMANDIRIAN.
Prinsip keswadayaan ialah
menghargai dan mengedepankan kemampuan masyarakat dari pada bantuan pihak lain.
Konsep ini tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak berkemampuan
“the have not”, melainkan sebagai subjek yang memiliki kemampuan sedikit “the
have little”
Mereka memiliki kemampuan untuk menabung pengetahuan yang mendalam tentang kendala-kendala usahanya, mengetahui kondisi lingkungannya, memiliki tenaga kerja dan kemauan serta memiliki norma-norma bermasyarakat yang sudah lama dipatuhi. Semua itu harus digali dan dijadikan modal dasar bagi proses pemberdayaan. Bantuan dari orang lain yang bersifat materiil harus dipandang sebagai penunjang sehingga pemberian bantuan tidak justru melemahkan tingkat keswadayaannya. Sumber : www.dosenpendidikan.com.
Mereka memiliki kemampuan untuk menabung pengetahuan yang mendalam tentang kendala-kendala usahanya, mengetahui kondisi lingkungannya, memiliki tenaga kerja dan kemauan serta memiliki norma-norma bermasyarakat yang sudah lama dipatuhi. Semua itu harus digali dan dijadikan modal dasar bagi proses pemberdayaan. Bantuan dari orang lain yang bersifat materiil harus dipandang sebagai penunjang sehingga pemberian bantuan tidak justru melemahkan tingkat keswadayaannya. Sumber : www.dosenpendidikan.com.
PRINSIP BERKELANJUTAN
Program pemberdayaan perlu
dirancang untuk berkelanjutan, sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih
dominan dibanding masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran
pendamping akan makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus, karena masyarakat
sudah mampu mengelola kegiatannya sendiri.
ALASAN KUAT UNTUK MENJADIKAN TALAS JEPANG SATOIMO SEBAGAI BAHAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PROGRAM INOVASI DESA DI LAMONGAN.
Salah satu jenis komoditi
pangan non beras yang saat ini mulai “ngetren” dan digalakkan di berbagai
daerah karena memiliki nilai dan prospek ekonomi yang cukup bagus adalah Talas Jepang Satoimo (Colocasia
esculenta var antiquorum) atau yang dikenal sebagai Taro Potato. Bahan pangan
yang satu ini sekarang sudah menjadi salah satu bahan pangan utama bagi
sebagian besar penduduk Jepang sebagai pengganti beras dan kentang, karena
mereka menganggap beras dan kentang terlalu banyak mengandung karbohidrat dan
gula, sehingga banyak warga Jepang yang mengalihkan konsumsi mereka pada jenis
talas ini.
Talas Jepang sebenarnya
sudah masuk ke Indonesia sejak lama, yaitu pada masa pendudukan Jepang antara
tahun 1942 – 1945. Keadaan rawan pangan yang melanda hampir seluruh wilayah
Indonesia pada waktu itu, memaksa pemerintah pendudukan Jepang mendatangkan
komoditi pangan asli negeri sakura itu ke negara kita, penduduk yang waktu itu
masih terjajah kemudian dipaksa untuk menanam talas ini, bukan untuk memenuhi
kebutuhan pangan bangsa yang dijajahnya, tapi untuk cadangan pangan bagi
penduduk Jepang di negaranya, hanya talas dengan kualitas rendah saja yang
kemudian bisa dikonsumsi oleh bangsa Indonesia.
Setelah masa kemerdekaan,
talas jepang kemudian dilupakan orang, karena memang bukan bahan pangan pokok
bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan prospek pasarnyapun waktu itu tidak
jelas, begitu juga di negara asalnya, tanaman penghasil bahan pangan ini juga
tidak menjadi prioritas dalam pengembangan pertanian mereka. Baru pada era
delapan puluhan, pemerintah Jepang kembali menggalakkan penanaman komoditi ini
setelah adanya berbagai penelitian yang membuktikan bahwa talas jepang tidak
saja bisa menjadi bahan pangan alternatif yang mengandung protein dan kalori
tinggi tapi memiliki kandungan karbohidrat dan gula yang rendah, sehingga aman
dikonsumsi oleh penderita atau mereka yang berpotensi diabetes, disamping
memiliki manfaat selain sekedar sebagai bahan pangan.
Berbeda dengan jenis talas
lainnya, talas jepang satoimo selain bisa diolah menjadi pangan olahan
pengganti kentang dan terigu seperti tart, kue kering, pie atau makanan ringan,
talas jenis ini bisa dikonsumsi langsung dalam keadaan mentah, rasanya yang
mirip-mirip dengan salak pondoh membuat sebagian orang menyebutnya keladi salak. Kalau anda
pernah mencicipi oleh-oleh dari Jepang berupa Taro Snack atau pie Genji Taro, itu merupakan
contoh dari pangan olahan yang berbahan dasar talas jepang satoimo.
Disamping menjadi bahan
pangan alternatif bahkan pangan utama warga Jepang, hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa talas jepang memiliki kandungan Hyalitrotic Acid yang merupakan senyawa
pembentuk Collagen,
salah satu jenis protein yang diyakini bisa memperlambat proses penuaan kulit.
Tepung talas jepang juga banyak dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan
berbagai kosmetik, terutama kosmetik untuk perawatan kulit.
Awalnya, produksi talas yang
dihasilkan oleh pertanian di Jepang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri
mereka, tapi seiring dengan meningkatnya permintaaan dan semakin menyempitnya
lahan pertanian di Negara itu, mereka mulai kekurangan pasokan talas jepang
ini. Dari data Economic
Review (2010), kebutuhan talas jepang di negeri sakura pada tahun
2010 mencapai 380.000 ton, sementara lahan pertanian meea hanya mampu
menghasilkan sekitar 250.000 ton per tahun, masih ada kekurangan 130.000 ton. China adalah negara
pertama yang kemudian melirik peluang ini, merekapun mulai mengembangkan
komoditi ini pada tahun 2006 yang lalu, dan pada tahun ini mereka sudah
berhasil mengekspor tidak kurang dari 60.000 talas ke Jepang. Namun demikian
produk dari negeri tirai bambu itu belum juga mampu memenuhi permintaan pasar
di Jepang.
Dari pengalamannya
mendampingi petani membudidayakan talas jepang di Aceh Besar, setiap hektar
mampu menghasilkan 30 sampai 35 ton talas jepang, sedangkan harga yang dipatok
oleh eksportir sebesar Rp 4.000,- per kilogramnya, itu artinya setiap hektar
lahan pengembangan kooditi ini mampu menghasilkan pemasukan bagi petani antara
120 sampai 140 juta rupiah, jika dikurangi dengan biaya produksi sekitar 55
juta per hektar, petani masih mendapatkan keuntungan 65 sampai 85 juta, sebuah
prospek ekonomi yang sangat bagus ( www.kompasiana.com ).
Talas jepang memang berbeda
dengan talas jenis lainnya, yang selama ini nyaris dipandang “sebelah mata” oleh petani
karena harga pasarnya yang sangat rendah, tapi talas Satoimo adalah talas “dewa” yang harga pasarnya
di Jepang bisa membuat kita tercengang. Tingginya permintaan pasar Jepang atas
komoditi ini, mestinya jadi motivasi bagi para pihak untuk terus meningkatkan
areal pertanaman dan produktivitas talas jepang. Sebuah peluang usaha tani yang
sangat menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang perlu untuk
terus dikembangkan, kalo tidak, selain China, petani di Vietnam dan Malaysia, juga sudah siap
untuk merebut pangsa pasar tersebut.
Heri Purwanto - Telp / Wa. 085 330 85 4216
Lamongan - Jawa Timur
www,pemuliabenih.blogspot.com