BTemplates.com

Jumat, 16 Maret 2018

Padi Lokal Nusantara, Kekayaan Alam yang Butuh Perhatian Kita.

Beberapa Varietas Lokal Nusantara yang saat ini sangat langka keberadaannya.
Ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani. Ini dampak dari ”pemaksaan” kepada petani untuk menanam padi varietas unggul nasional dan hibrida berbasis spesies Indika. Padahal, Indonesia kaya plasma nutfah padi lokal spesies Javanika, yang berpotensi untuk dikembangkan. Ketua Tim Penilai dan Pelepas Varietas Departemen Pertanian, sekaligus Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Deptan, Suyamto, mengungkapkan penanaman padi varietas lokal tinggal 10-15 persen.

Dilihat dari kepemilikan plasma nutfah padi, posisi Indonesia tidak seaman Amerika Serikat, yang memiliki 23.097 plasma nutfah padi, dan Filipina 90.000 plasma nutfah padi. Di Indonesia, hanya ada 3.800 jenis plasma nutfah yang terdaftar di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Departemen Pertanian.

Produksi benih padi Indonesia pun cenderung stagnan, yaitu 460.000 ton per tahun, sejak tahun 2000. Jumlah ini jauh di bawah produksi benih Vietnam, yang pada 2005 sudah mencapai 1.09 juta ton per tahun.

Tanpa komitmen kita bersama untuk melestarikan dan menjaga keberadaan varietas lokal Nusantara, dikhawatirkan padi varietas lokal akan punah. Padahal, varietas lokal mempunyai karakteristik tertentu hasil adaptasi dengan lahan pertanian setempat. Jika disilangkan dengan tepat berpotensi menghasilkan padi yang produktivitasnya tinggi, Tahan dan toleran terhadap hantaman OPT ( Organisme pengganggu tanaman ), tanpa perlu biaya pemupukan dan pestisida sintetis atau pabrikan.

Namun, petani ”didorong” untuk menanam padi berbasis spesies Indika, yang umumnya ditanam di daerah basah Asia tropis dan subtropis, seperti China dan Jepang. Adapun padi Javanika hanya ditanam di Indonesia. Sebagian besar plasma nutfah yang ada di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian adalah varietas padi lokal, Javanika, dari seluruh Indonesia.

Berdasarkan keterangan para pendahulu kita, sampai akhir 1960-an, turun- temurun petani masih menanam ribuan varietas padi lokal. Misalnya varietas Angkong, Bengawan, Engseng, Melati, Markoti, Longong, Rejung Kuning, Umbul-umbul, Tunjung, Rijal, Sri Kuning, Untup, Tumpang Karyo, Rangka Madu, Sawah Kelai, Tembaga, Tjina, dan ribuan varietas padi lokal asli Indonesia lainnya.
Koleksi beberapa galur dan varietas padi oleh petani lokal di daerah Jawa Timur.
Sejak pemerintah mengadopsi tanaman padi spesies Indika, seperti IR-64, PB-5, PB-8, dan kini varietas unggul nasional Ciherang, IR-64, Cisantana, Cigeulis, Cibogo, dan lainnya, perlahan-lahan keberadaan varietas lokal tergusur. Apalagi beberapa tahun terakhir ini pemerintah giat memperkenalkan padi hibrida ke petani dimana indukan padinya ( Tetua Padi Hibrida ) banyak didatangkan dari luar negeri lewat rekayasa genetika ( Transgenik ), semakin menggusur dan mengancam keberadaan varietas lokal nusantara yang memiliki potensi memunculkan gen - gen unggul tanaman padi di masa mendatang.

Menurut penuturan salah satu petani di Indramayu , Joharipin (33)  biaya produksi menanam Ciherang relatif besar karena padi varietas unggul, seperti IR-64 dan Ciherang, kini tidak tahan hama penyakit, selain boros pupuk dan pestisida. Biaya pemupukan per hektar per musim tanam pun Rp 500.000-Rp 1.200.000. Penyemprotan pestisida dan obat kimia sejenisnya bisa 12 kali per musim tanam. Benih harus dibeli untuk setiap kali tanam sehingga ada kecenderungan menciptakan ketergantungan petani pada pihak lain terutama benih produksi pabrik, semakin menambah tinggi ongkos produksi tanaman padi. Selain itu lewat program revolusi hijau tahun 1970an  dan undang - undang perbenihan dan perlindungan varietas tanaman misal UU No 12 Tahun 1992 yang mempersempit kreatifitas petani dalam merakit varietas unggul tanaman padi, menjadikan petani kita sebagai objek pertanian bukan lagi sebagai subyek ( pemeran utama) terkait perbenihan Nasional.
 
Muhamad Suryaman (27), petani Desa Jengkok bernada sama. ”Meskipun hasilnya banyak, kalau biaya produksi besar, keuntungan tetap sedikit,” katanya. Tingginya biaya produksi memicu kreativitas petani untuk menanam padi varietas baru berbasis varietas lokal, spesies Javanika, hasil silangan petani sendiri. Di Indramayu ada sejumlah calon varietas baru hasil penyilangan petani setempat, seperti Bongong, yang potensi produktivitasnya 12,8 ton gabah kering panen, lebih tahan kekeringan, dan serangan hama penyakit yang biasa menyerang Ciherang.

Namun, calon varietas hasil silangan petani itu belum dapat dilepas di pasaran. Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pelepasan ke pasar dilakukan oleh Menteri Pertanian. Tanpa melalui pelepasan, diancam pidana maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta.

Guna Mendorong kegairahan dan kreatifitas  petani dan swasta untuk menghasilkan varietas baru yang lebih baik, UU no 12 Tahun1992  harus direvisi. Padi varietas lokal sudah adaptif dengan kondisi lingkungan setempat karena itu tidak perlu uji multilokasi di 16 lokasi pada dua musim berbeda, seperti disyaratkan perundang-undangan. Pada masa datang pemerintah tak perlu terlampau mengurusi pelepasan varietas. Biarlah petani dan swasta nasional yang berkompetisi menciptakan varietas baru spesifik lokasi yang diinginkan . Pemerintah hanya memfasilitasi, dengan menyediakan sebanyak mungkin plasma nutfah, untuk dikembangkan swasta dan petani pemulia di Nusantara tercinta ini.
Kepedulian Anggota AB2TI dalam Mengenalkan Pemulian Tanaman Padi pada Generasi Muda.