Beberapa Varietas Lokal Nusantara yang saat ini sangat langka keberadaannya. |
Ribuan
varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani. Ini dampak dari
”pemaksaan” kepada petani untuk menanam padi varietas unggul nasional dan
hibrida berbasis spesies Indika. Padahal, Indonesia kaya plasma nutfah padi
lokal spesies Javanika, yang berpotensi untuk dikembangkan. Ketua
Tim Penilai dan Pelepas Varietas Departemen Pertanian, sekaligus Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Deptan, Suyamto, mengungkapkan penanaman padi varietas lokal tinggal 10-15 persen.
Dilihat
dari kepemilikan plasma nutfah padi, posisi Indonesia tidak seaman Amerika
Serikat, yang memiliki 23.097 plasma nutfah padi, dan Filipina 90.000 plasma
nutfah padi. Di Indonesia, hanya ada 3.800 jenis plasma nutfah yang terdaftar
di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
Pertanian Departemen Pertanian.
Produksi
benih padi Indonesia pun cenderung stagnan, yaitu 460.000 ton per tahun, sejak
tahun 2000. Jumlah ini jauh di bawah produksi benih Vietnam, yang pada 2005
sudah mencapai 1.09 juta ton per tahun.
Tanpa
komitmen kita bersama untuk melestarikan dan menjaga keberadaan varietas lokal Nusantara, dikhawatirkan padi varietas
lokal akan punah. Padahal, varietas lokal mempunyai karakteristik tertentu
hasil adaptasi dengan lahan pertanian setempat. Jika disilangkan dengan tepat
berpotensi menghasilkan padi yang produktivitasnya tinggi, Tahan dan toleran terhadap hantaman OPT ( Organisme pengganggu tanaman ), tanpa perlu biaya
pemupukan dan pestisida sintetis atau pabrikan.
Namun,
petani ”didorong” untuk menanam padi berbasis spesies Indika, yang umumnya ditanam
di daerah basah Asia tropis dan subtropis, seperti China dan Jepang. Adapun
padi Javanika hanya ditanam di Indonesia. Sebagian besar plasma nutfah yang ada
di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
Pertanian adalah varietas padi lokal, Javanika, dari seluruh Indonesia.
Berdasarkan keterangan para pendahulu kita, sampai
akhir 1960-an, turun- temurun petani masih menanam ribuan varietas padi lokal.
Misalnya varietas Angkong, Bengawan, Engseng, Melati, Markoti, Longong, Rejung
Kuning, Umbul-umbul, Tunjung, Rijal, Sri Kuning, Untup, Tumpang Karyo, Rangka
Madu, Sawah Kelai, Tembaga, Tjina, dan ribuan varietas padi lokal asli
Indonesia lainnya.
Sejak
pemerintah mengadopsi tanaman padi spesies Indika, seperti IR-64, PB-5, PB-8,
dan kini varietas unggul nasional Ciherang, IR-64, Cisantana, Cigeulis, Cibogo,
dan lainnya, perlahan-lahan keberadaan varietas lokal tergusur. Apalagi beberapa tahun terakhir ini pemerintah giat memperkenalkan padi hibrida ke petani dimana indukan padinya ( Tetua Padi Hibrida ) banyak didatangkan dari luar negeri lewat rekayasa genetika ( Transgenik ), semakin menggusur dan mengancam keberadaan varietas lokal nusantara yang memiliki potensi memunculkan gen - gen unggul tanaman padi di masa mendatang.
Menurut penuturan salah satu petani di Indramayu , Joharipin
(33) biaya produksi
menanam Ciherang relatif besar karena padi varietas unggul, seperti IR-64 dan
Ciherang, kini tidak tahan hama penyakit, selain boros pupuk dan pestisida. Biaya
pemupukan per hektar per musim tanam pun Rp 500.000-Rp 1.200.000. Penyemprotan
pestisida dan obat kimia sejenisnya bisa 12 kali per musim tanam. Benih harus
dibeli untuk setiap kali tanam sehingga ada kecenderungan menciptakan ketergantungan petani pada pihak lain terutama benih produksi pabrik, semakin menambah tinggi ongkos produksi tanaman padi. Selain itu lewat program revolusi hijau tahun 1970an dan undang - undang perbenihan dan perlindungan varietas tanaman misal UU No 12 Tahun 1992 yang mempersempit kreatifitas petani dalam merakit varietas unggul tanaman padi, menjadikan petani kita sebagai objek pertanian bukan lagi sebagai subyek ( pemeran utama) terkait perbenihan Nasional.
Muhamad
Suryaman (27), petani Desa Jengkok bernada sama. ”Meskipun hasilnya banyak,
kalau biaya produksi besar, keuntungan tetap sedikit,” katanya. Tingginya
biaya produksi memicu kreativitas petani untuk menanam padi varietas baru
berbasis varietas lokal, spesies Javanika, hasil silangan petani sendiri. Di
Indramayu ada sejumlah calon varietas baru hasil penyilangan petani setempat,
seperti Bongong, yang potensi produktivitasnya 12,8 ton gabah kering panen,
lebih tahan kekeringan, dan serangan hama penyakit yang biasa menyerang
Ciherang.
Namun,
calon varietas hasil silangan petani itu belum dapat dilepas di pasaran. Sesuai
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pelepasan ke
pasar dilakukan oleh Menteri Pertanian. Tanpa melalui pelepasan, diancam pidana
maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Guna Mendorong
kegairahan dan kreatifitas petani dan swasta untuk menghasilkan varietas baru yang lebih baik,
UU no 12 Tahun1992 harus direvisi. Padi varietas lokal sudah adaptif dengan kondisi
lingkungan setempat karena itu tidak perlu uji multilokasi di 16 lokasi pada
dua musim berbeda, seperti disyaratkan perundang-undangan. Pada
masa datang pemerintah tak perlu terlampau mengurusi pelepasan
varietas. Biarlah petani dan swasta nasional yang berkompetisi menciptakan
varietas baru spesifik lokasi yang diinginkan . Pemerintah
hanya memfasilitasi, dengan menyediakan sebanyak mungkin plasma nutfah, untuk
dikembangkan swasta dan petani pemulia di Nusantara tercinta ini.
Kepedulian Anggota AB2TI dalam Mengenalkan Pemulian Tanaman Padi pada Generasi Muda. |