Pak Heri Purwanto Bersama Pak Darmin - Pemulia Padi dari Indramayu Jawa Barat. |
Darmin
(52) dan bibit padi ciptaannya ibarat bapak dan anak. Puluhan petani lain dari Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat, juga mengenal sifat baik dan buruk benih padi hasil persilangan
mereka. ”Anak” Darmin dinamainya Gadis Indramayu dan Pemuda Idaman. Namun,
sayang, varietas temuan Darmin itu ”ditolak” dan dikalahkan oleh kekuatan besar
yang jauh dari jangkauannya. Undang-undang di negeri agraris ini mengharuskan
petani menggunakan bibit unggul yang mesti melalui pengujian dan sertifikasi
berbiaya ratusan juta. Suatu hal yang hanya mungkin dicapai produsen benih
besar. Sementara petani kecil seperti Darmin dan kawan-kawan hanya menjadi
pasar ”penjualan” benih di lahan sendiri.
Dari
perawakannya, kulit bulirnya kuning bersih dan kesat saat dipegang. Belum lagi
malainya yang cantik menjuntai laksana raga Dewi Sri yang padat dan bernas.
Begitulah Gadis Indramayu (silangan benih Ciherang dengan Pandanwangi) dan
Pemuda Idaman (Ciherang dengan Kebo) yang menjadi kebanggaan Darmin. Selama
lebih dari delapan musim tanam, Darmin setia menyeleksi satu per satu hasil
persilangannya. Kemiskinan menguatkan tekadnya untuk mandiri. ”Lamun petani iku
pengen asil panenne akeh, olih duite gedhe. Baka bisa dewek kenangapa kudu
tuku?
(Petani
itu inginnya hasil panennya banyak, beroleh uangnya juga besar. Kalau bisa melakukan
sendiri, kenapa harus beli),” kata Darmin saat ditemui di rumahnya yang sederhana
di Blok Randu, Desa Sekarmulya, Kecamatan Gabuswetan, Sabtu (29/10). Semangat
kemandirian Darmin semakin membuncah ketika bapak empat anak ini diajak mengikuti
Sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman Partisipatoris (SLPTP) yang difasilitasi Yayasan
Farmers Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD) pada 2002.
Kegiatan itu bagian dari program Participatory Enhancement of Diversity of
Genetic Resources in Asia. Sekitar 45 petani mengikuti program itu. Mereka belajar
menyilangkan padi dan menemukan varietas lokal yang diabaikan sejak munculnya perusahaan
benih.Benih-benih lokal, seperti longong, gundhil, rangsel, jalawara, sriputih,
dan marong, ditemukan kembali. ”Oh, ternyata setiap benih ada kekuatan dan
kelemahannya,jadi harus dikawin-kawinkan. Supaya nemu turunan yang baik, ya
harus diseleksi,” kata Darmin mengenang kesadaran awalnya.
Setidaknya
ada lima alumnus SLPTP yang hingga kini aktif menyilangkan benih padi. Selain Darmin,
empat pemulia lain adalah Warsiyah (54) dan Ito Sumitro (47) dari Desa
Kalensari, Kecamatan Widasari; Karsinah (70) dari Desa Segeran Kidul, Kecamatan
Juntinyuat; serta Joharipin (36) dari Desa Jengkok, Kecamatan Kertasemaya.
Mereka mengorganisasi diri dalam Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia
Indramayu. Dalam satu musim tanam, setiap pemulia bisa menghasilkan sampai 400 varietas
yang berbeda.
Pak Darmin Menyerahkan benih Induk ke Anggota AB2TI Jawa Timur. |
Kiprah
para pemulia benih padi ini bahkan direkam dalam buku dan film dokumenter berjudul
Bisa Dewek: Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu (2011). Buku dan
film karya etnografi itu disusun oleh sebuah tim akademisi yang dipimpin antropolog
Universitas Indonesia (UI), Yunita T Winarto. Kajian antropolog itu amat detail
dan menyiratkan pembelaannya yang kuat. Begitulah, kendati sudah lebih dari
delapan tahun petani-petani kecil itu bekerja keras menyilangkan dan
menghasilkan benih sendiri, kreativitas petani Indramayu kurang diperhatikan pemerintah.
Sekalipun tidak dilarang menanam benih hasil persilangan sendiri, petani
pemulia dilarang menyebarluaskan benih mereka. Itu diatur dalam UU No 12/1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman serta UU No 29/2000 tentang Perlindungan
Varietas Tanaman.
Pendamping
SLPTP, yang juga Direktur Eksekutif FIELD, Nugroho Wienarto menaruh simpati mendalam
kepada para petani pemulia itu. Ia menyayangkan belum berpihaknya regulasi negeri
ini kepada kemandirian petani. ”Padahal, dunia mengakui hak petani untuk mengembangkan
sumber daya genetika, termasuk menyimpan, menggunakan, sampai mempertukarkan
benih temuannya sendiri.” Penyesalan juga diungkapkan Karto, dosen Fakultas
Pertanian Universitas Wiralodra, Indramayu, yang selama ini banyak bertukar pikiran
dan mendampingi petani pemulia. Akademisi yang juga Ketua Kelompok Tani Ramah
Lingkungan di Widasari itu menilai, yang diupayakan petani pemulia adalah bukti
dan kemandirian petani sejak benih, pupuk, sampai obat-obat tanaman. ”Paradigma
Revolusi Hijau dulu telah membuat kearifan lokal petani tergerus. Benih unggul,
hibrida, pupuk kimia, pestisida, dan aneka obat semprot kimia, satu per satu
mencekoki petani.” kata Karto. Celakanya, pemerintah daerah pun tak berdaya menghadapi
regulasi yang membelit petani mereka. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu
Sugeng Achya mengakui tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan dana untuk membiayai
sertifikasi benih petani. ”Ada persoalan UU di tingkat pusat yang tak bisa kami
abaikan,” kata Sugeng. Di sisi lain, Indonesia sebenarnya sudah meratifikasi
perjanjian internasional tentang Sumber Daya Genetika untuk Pangan dan Pertanian
Tahun 2001 di kantor Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Roma, Italia. Perjanjian
itu diratifikasi dengan terbitnya UU No 4/2006
. Berbeda dengan dua UU sebelumnya, UU No 4/2006 membolehkan petani menyimpan, menggunakan,
sampai mempertukarkan benih temuan mereka sendiri.
Namun,
UU No 4/2006 itu mandul. Tidak ada peraturan pelaksana yang secara tegas mengatur
dibolehkannya petani mempertukarkan benih temuan sendiri. Begitulah,
benih-benih milik pemulia tanaman Indramayu tersebut tersisih, mati sebelum berkembang.
Dan, kemandirian petani di negeri agraris ini rupanya sebatas ide, wacana, lipstik
di bibir.
( Sumber :www.kompas.com )
( Sumber :www.kompas.com )
Heri Purwanto - Telp. 085330854216
Lamongan - Jawa Timur.
www.pemuliabenih.blogspot.com